Jumat, 08 Juni 2012

9 Summers 10 Autumns




Saya membaca buku ini di momen yang tepat ketika saya sedang membutuhkan nafas segar di tengah engapnya dunia perkuliahan. Buku ini mengantarkan saya pada hangatnya kasih sayang keluarga, manisnya perjuangan, dan luar biasanya efek pendidikan.

Ditulis berdasarkan kisah nyata, Iwan Setiawan, yang menghabiskan masa kecilnya di rumah berukuran 6x7 meter yang beralaskan semen, di kaki Gunung Panderman, Kota Batu, Malang. Rumah yang mengantarnya menjadi direktur di Nielsen New York, United State of America. Rumah yang ia bagi bertujuh bersama ayahnya, ibunya, dan empat saudara perempuannya. Dari rumah ini, mimpi demi mimpi pun lahir. Mimpi untuk membangun kamar di atas dapur, di rumah mungilnya. 
Ayahnya seorang supir angkot yang tidak bisa mengingat tanggal lahirnya dan ibunya tidak tamat sekolah dasar. Permasalahan ekonomi hidup bersama keluarga ini, yang membuat ia dan saudaranya mencari tambahan uang dengan mengecat boneka kayu di rumah tetangganya, membantu tetangga berdagang di pasar, dan berjualan di saat bulan puasa. Sahabat kecilnya bukanlah mainan, mobil - mobilan, atau boneka barbie, melainkan buku - buku pelajaran. Melalui pendidikan, matahari mulai bersinar di atas rumah kecil ini, membentangkan jalan keluar dari penderitaan.
  
“Aku tidak bisa memilih masa kecilku”

Buku ini menampar saya, malu. Saya yang menghabiskan masa kecil di rumah beralaskan keramik, yang diberikan fasilitas dan kecukupan, tidur di atas empuknya spring bed, masih bisa – bisa nya tidak bersyukur dengan tidak belajar bersungguh sungguh. Berkali kali mengalami demotivasi diri, takut bermimpi, kembung ilmu (yang padahal mungkin cuma masuk angin). Kalah dengan sosok yang terlahir di rumah beralaskan semen, yang tidur di atas dipan bambu. Dengan kegigihan, ia berhasil melepaskan belenggu penderitaan keluarganya, dan mampu mengangkat harkat keluarga.

Melewati 9 musim panas dan 10 musim gugur, gemerlap New York telah memikat Iwan Setiawan, sampai akhirnya ia kembali ke rumah kecilnya di kaki Gunung Panderman, kembali ke keluarganya. 
Seindah apapun negeri lain, seindah apapun Paris, London, New York, atau kota manapun di dunia ini, tidak ada tempat yang lebih indah dan lebih nyaman dari rumah. Dimana mimpi terlahir, pelajaran hidup diecap, dan perjalanan hidup dimulai.

Ibu, Papa, Mas Aji, di usia saya 18 yang akan menginjak 19 ini, izinkan Tika untuk meminta maaf. Tika belum bisa membawa kesuksesan Tika ke pangkuan kalian. 18 tahun rasanya sudah terlalu lama untuk membuat kalian tersenyum bangga, namun terasa terlalu cepat berlalu. Terima kasih atas segalanya yang telah kalian kasih buat Tika. Terima kasih atas gelombang kasih yang mengalir tanpa pernah surut.

Tetap jaga semangatmu, Dwi Mustika Handayani. Hidup tidak boleh biasa – biasa saja :)

4 komentar:

  1. Saya juga sudah baca buku ini dan benar-benar memberikan motivasi untuk menggapai mimpi-mimpi kita :)

    BalasHapus
  2. iyaa kak ... kak, punya buku judulnya ibuk, enggak? keren loh kak

    BalasHapus
  3. ibuk? wah, karangan siapa? terima kasih rekomendasinya :)

    BalasHapus

drop some words!