Halo bulan
malam ini kau sombong sekali menebarkan pesonamu ke seantero jagad raya.
kau tau tidak, bahkan bintang - bintang di sekitarmu pun menyingkir, takut sinarnya kalah oleh pendar auramu.
tapi aku kembali datang, lagi lagi untuk bicara padamu.
Kamu bekerja layaknya penghapus jarak antara aku dengan seseorang ketika jarak ratusan kilometer memisahkan kami. Aku suka naik ke lantai teratas rumah kos, hanya untuk memandang kemegahanmu, mengagumi penciptamu, menyayangi ciptaan penciptamu. Meski hanya beralaskan sendal jepit, meski angin malam meniupkan beku ke tengkuk yang menggetarkan tulang rusuk. Kegiatan ini masih menjadi kesukaanku sampai detik ini, kalau saja kesibukan tidak terlalu melumpuhkanku . Karena yang aku tahu, bulan yang ada di langit di atas kotanya, pasti juga bulan yang aku lihat dari kotaku.
Kalau boleh aku mengutip perkataan seorang sahabat, kau itu mampu membuatku merasa dekat dengan setiap tempat di muka bumi ini, sejauh apapun itu.
Awalnya aku tidak benar-benar setuju. Tadinya aku berpikir bahwa akan ada masanya saat aku baru bisa melihatmu, belahan bumi yang paling aku rindukan justru melihat mentari terbit menggantikan keberadaanmu. Tapi temanku itu bilang, bahwa kalau saja aku perhatikan, kau tetap menggantung disana pada awal pagi, ketika mentari baru memunculkan mahkotanya. Pada detik itulah, bahkan jarak sejauh setengah keliling bumi, terasa dekat.
Hai, bulan..
bagaimana sih rasanya menggantung di atas sana? melihat segala hiruk pikuk kehidupan kota yang tidak pernah mati, menaungi desa yang tertidur, menyenangkan ya? menemani seseorang dalam isak tangisnya, atau tersenyum memandang mereka yang berbahagia, dan mengantar mereka tertidur bergelung di bawah selimutnya yang hangat.
Jika aku sedang duduk menatapmu seperti ini, perasaanku bisa menjadi sangat melankolis. Kau tahu tidak? Ini yang orang lain bilang galau, tapi peduli apa aku. Menurutku, ini justru momen supaya aku mampu mengalirkan segala energi yang aku miliki, emosi yang menyeruak, memori-memori yang menyelesak, dan scene-scene hidup yang mencuat. Aku perlu waktu untuk bisa mengistirahatkan sejenak tubuhku ketika otak ini terlalu lelah bekerja dalam logika dan angka, ketika jemari sudah kebas menulis laporan praktikum, ketika semua orang di dunia ini rasanya tidak lebih dari sekumpulan kuman yang menginfeksi . Aku perlu waktu untuk aku dan diriku .Hanya kamu dan aku.
Aku tidak pernah datang kepadamu dengan perasaan yang persis sama. Tapi kamu selalu sedia menerima induksi perasaanku, sebahagia apapun, segamang apapun, dan separah apapun itu. Dan saat aku bicara padamu tanpa kata, sejujurnya aku sedang bicara pada penciptamu yang telah memberikan hidup yang sangat spektakuler.
Bulan..
Aku pernah memandangmu bersama seseorang yang berarti pada suatu malam, sambil juga memandangi bintang - bintang artifisial yang terserak di bawah bukit itu. Sambil mencoba coba bereksperiment menangkap cahaya. Kamu menyaksikan kami, saat itu. Namun detik ini, lautan dan daratan mencipta angka ribuan mil antara aku dengan dirinya . Memandangmu membuat aku berpikir bahwa jarak tidak lebih dari sekedar deretan angka dan satuan. Pasti kamu bulan yang sama yang dia lihat dari tanah tempatnya memijak. Tentu saja, karena bumi hanya mempunyai satu bulan, dan itu kamu.
Ah, tapi palingan dia tidak lihat bulan. Hahaha.
Bulan, bagaimana rasanya memerhatikan dia dari atas sana? Melihat senyumnya yang merekah dan tawanya yang lepas, atau kerut keningnya bahkan raut bingungnya. Menyenangkan sekali, kapan-kapan kita bertukar tempat yuk.
Yayaya...aku tahu kamu tidak mau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
drop some words!