Rabu, 08 Februari 2012

Talking To The Moon

Halo bulan
malam ini kau sombong sekali menebarkan pesonamu ke seantero jagad raya.
kau tau tidak, bahkan bintang - bintang di sekitarmu pun menyingkir, takut sinarnya kalah oleh pendar auramu.
tapi aku kembali datang, lagi lagi untuk bicara padamu.

Kamu bekerja layaknya penghapus jarak antara aku dengan seseorang ketika jarak ratusan kilometer memisahkan kami. Aku suka naik ke lantai teratas rumah kos, hanya untuk memandang kemegahanmu, mengagumi penciptamu, menyayangi ciptaan penciptamu. Meski hanya beralaskan sendal jepit, meski angin malam meniupkan beku ke tengkuk yang menggetarkan tulang rusuk. Kegiatan ini masih menjadi kesukaanku sampai detik ini, kalau saja kesibukan tidak terlalu melumpuhkanku . Karena yang aku tahu, bulan yang ada di langit di atas kotanya, pasti juga bulan yang aku lihat dari kotaku.

Kalau boleh aku mengutip perkataan seorang sahabat, kau itu mampu membuatku merasa dekat dengan setiap tempat di muka bumi ini, sejauh apapun itu.

Awalnya aku tidak benar-benar setuju. Tadinya aku berpikir bahwa akan ada masanya saat aku baru bisa melihatmu, belahan bumi yang paling aku rindukan justru melihat mentari terbit menggantikan keberadaanmu. Tapi temanku itu bilang, bahwa kalau saja aku perhatikan, kau tetap menggantung disana pada awal pagi, ketika mentari baru memunculkan mahkotanya. Pada detik itulah, bahkan jarak sejauh setengah keliling bumi, terasa dekat.



Hai, bulan..
bagaimana sih rasanya menggantung di atas sana? melihat segala hiruk pikuk kehidupan kota yang tidak pernah mati, menaungi desa yang tertidur, menyenangkan ya? menemani seseorang dalam isak tangisnya, atau tersenyum memandang mereka yang berbahagia, dan mengantar mereka tertidur bergelung di bawah selimutnya yang hangat.

Jika aku sedang duduk menatapmu seperti ini, perasaanku bisa menjadi sangat melankolis. Kau tahu tidak? Ini yang orang lain bilang galau, tapi peduli apa aku. Menurutku, ini justru momen supaya aku mampu mengalirkan segala energi yang aku miliki, emosi yang menyeruak, memori-memori yang menyelesak, dan scene-scene hidup yang mencuat. Aku perlu waktu untuk bisa mengistirahatkan sejenak tubuhku ketika otak ini terlalu lelah bekerja dalam logika dan angka, ketika jemari sudah kebas menulis laporan praktikum, ketika semua orang di dunia ini rasanya tidak lebih dari sekumpulan kuman yang menginfeksi . Aku perlu waktu untuk aku dan diriku .Hanya kamu dan aku.

Aku tidak pernah datang kepadamu dengan perasaan yang persis sama. Tapi kamu selalu sedia menerima induksi perasaanku, sebahagia apapun, segamang apapun, dan separah apapun itu. Dan saat aku bicara padamu tanpa kata, sejujurnya aku sedang bicara pada penciptamu yang telah memberikan hidup yang sangat spektakuler.

Bulan..

Aku pernah memandangmu bersama seseorang yang berarti pada suatu malam, sambil juga memandangi bintang - bintang artifisial yang terserak di bawah bukit itu. Sambil mencoba coba bereksperiment menangkap cahaya. Kamu menyaksikan kami, saat itu. Namun detik  ini, lautan dan daratan mencipta angka ribuan mil antara aku dengan dirinya . Memandangmu membuat aku berpikir bahwa jarak tidak lebih dari sekedar deretan angka dan satuan. Pasti kamu bulan yang sama yang dia lihat dari tanah tempatnya memijak. Tentu saja, karena bumi hanya mempunyai satu bulan, dan itu kamu.

Ah, tapi palingan dia tidak lihat bulan. Hahaha.

Bulan, bagaimana rasanya memerhatikan dia dari atas sana? Melihat senyumnya yang merekah dan tawanya yang lepas, atau kerut keningnya bahkan raut bingungnya. Menyenangkan sekali, kapan-kapan kita bertukar tempat yuk.

Yayaya...aku tahu kamu tidak mau.

Rabu, 01 Februari 2012

Mereka yang pergi tidak pernah benar-benar meninggalkanmu

Senja kemarin, seorang malaikat telah dipensiunkan oleh Tuhan. Tuhan bilang, tugasnya di bumi telah habis.

Malaikat itu bernama Bu Suryani, almarhumah.
Lagi-lagi dunia merasa kehilangan. Begitu pula keluarga kecil yang kau sebut akselerasi 2, anak - anaknya .

Entah berapa ton kesabaran yang Tuhan campurkan ketika menciptakan makhluk seperti beliau. Yang saya tahu hanyalah beliau memiliki kesabaran tanpa jeda menghadapi tingkah polah kami.
Saya masih ingat betapa beliau dengan kesabarannya tidak pernah meninggikan suara atau marah menghadapi kami yang memang benar-benar nakal. Hanya seutas senyum manis yang selalu menghiasi, meski kami benar-benar tahu bahwa ada setitik rasa jengkel dalam hatinya. Tuhan menjaganya penuh, betapa pun kami berulah, pada akhirnya rasa malu yang menghinggapi kami melihat kesabaran beliau.

Beliau adalah oasis di tengah kerontangnya jiwa yang haus ilmu. Segala ocehannya mengenai mitosis, meiosis, glikolisis, siklus kreb, voramen ovale, semuanya mencuat satu per satu mengiringi kepergiannya menuju keharibaan. Betapa dulu saya menjerit -jerit ingin segera mengakhiri kelas, namun kini jiwa saya menangis dan rela melakukan apapun demi kembali ke masa itu dan menikmati sisa waktu yang saya miliki bersamanya.

Beliau anak kunci rantai kesuksesan. Beliau tidak hanya menyuapi saya bekal untuk lulus UN dan masuk PTN favorit. Lebih dari apapun yang pernah dituntutkan kepada beliau sebagai seorang pengajar, beliau memberi saya bekal hidup, agar saya menjadi orang.

Terima kasih ibu, untuk semua kucuran ilmunya yang bahkan saya masih harus tergopoh menyongsongnya karena saking banyaknya, untuk selembar surat yang membawa saya ke dunia yang lebih luas, dan untuk setiap makna yang ibu sisipkan di sela pelajaran. Terima kasih Tuhan telah menghadirkan sosok malaikat dalam hidup saya.

Awalnya tidak ada satu kata pun yang mampu keluar dari lidah saya yang terasa kelu mendengar kabar duka ini. Yang saya benar-benar inginkan adalah saya ingin menemui beliau untuk terakhir kalinya. Saya sempat ragu karena saat itu hari sudah larut. Tapi kata-kata teman saya, Amri, menampar saya. "Inget Tik, wali kelas loh" akhirnya apalagi kalau bukan perasaan sayang, yang membawa langkah kaki saya ke rumah duka malam itu. Terima kasih Sri yang telah memberikan tumpangan.

Dan bendungan alamiah ini sudah tidak sanggup lagi menahan air mata yang mengalir deras dan melimpah ruah saat melihat jasadnya terbujur berbungkus kafan. Saya merasa bahu saya bergetar melihat beliau berlapis kain putih. Entah perasaan semacam apa. Tidak karuan.
Wajah teduh itu masih sama seperti yang saya lihat beberapa hari yang lalu. Rasanya masih seperti kemaren saya mencium tangannya dan beliau masih dengan sehat dan bugarnya berkata "Mbak Tika tambah cantik aja, gimana kuliahnya? sukses ya :)"
Wajah itu masih sama, hanya saja matanya tertutup untuk selamanya. Senyumnya tidak akan tersungging lagi. Bibirnya terkatup rapat. Rasanya saya ingin sekali saat saya memohon kepada Tuhan agar memberikan keajaiban. Berkali kali saya meneriakkan dalam hati supaya Ibu Suryani kembali berbicara dan menyapa saya dengan logat jawa nya yang kental. Saya rindu sapaan lembut ibu yang terasa seperti angin di siang hari yang terik. Tapi bibir itu tetap terkatup. Tuhan benar-benar telah mempensiunkan malaikat ini dari pekerjaan sucinya di dunia.

Tidak peduli malam sudah larut mendekati pergantian hari. Saya dan teman-teman saya tetap menunggu disana. Tidak selangkah pun saya beranjak selain ingin mengiringi beliau sampai memasuki mobil menuju perjalanannya ke Solo, menuju peristirahatanya yang tenang. Bu, semoga ilmu yang selama ini Ibu curahkan dengan tulus, menjadi penerangmu di sana,

Dan masing-masing dari kami pulang ke kediaman masing-masing, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk, namun sama sama kehilangan.

Saya dulu pernah bertanya mengapa orang - orang yang saya sayangi pada akhirnya satu-persatu pergi meninggalkan. Tapi terjawab sederhana dengan sebungkus cokelat yang saya makan malam itu sepulangnya saya dari pelawatan. Saat itu saya tengah memainkan pembungkus cokelat menjadi lipatan - lipatan tak beraturan. Sampai saya menemukan tanggal yang tertera di sana.

Tanggal kadaluarsa.

Mungkin Tuhan memang telah menentukan tanggal kadaluarsa setiap individu yang Dia ciptakan. Ibu Suryani adalah sosok yang luar biasa baik hati dan disayangi Tuhan. Buktinya Tuhan begitu rindu pada beliau sehingga Dia ingin beliau segera kembali.

Bedanya, tanggal kadaluarsa manusia berbeda dengan cokelat. Masih dapat dirasakan keberadaannya meski telah lewat tanggal kadaluarsa. Dan rasanya tetap sama seperti dulu. Bahkan, meskipun sudah melewati tanggal tersebut, manusia tetap bisa dikenang melalui karyanya.

Kalau kata Dumbledore. Orang yang kita sayangi tidak pernah benar-benar pergi dari hidup kita. Mereka akan tetap hidup selama kamu masih hidup. Selama kita masih mampu menghadirkannya dalam ingatan dan hati kita. Mereka akan tetap hidup, melalui ragamu.

Semoga ilmu yang kau berikan tetap mengalir dari generasi ke generasi.

Sejuta doa untuk Ibu Suryani. Selamat jalan, semoga kau diberikan singgasana terindah di sisi-Nya
Dan tetaplah hidup di hati mereka yang menyayangimu....

Museum Geologi Bandung. Malaikat itu mengenakan jilbab merah muda :)
Hotel Yehezkied Bandung, Goes To Campus 2009. I wish you're still here with us


ga kuat, pengen nangis lagi
Tika sayang Bu Sur..............